Sabtu, 03 Januari 2015

Stress, Tinjauan Fisiologis dan Psikologis 1

Stress, Tinjauan Fisiologis dan Psikologis



Setiap saat kita senantiasa harus menampilkan keseimbangan. Tubuh juga dituntut untuk mempertahankan keseimbangan dalam seluruh sistemnya. Keseimbangan sangat penting karena jika itu hilang maka tubuh akan kehilangan kontrol dan menyebabkan ketidakberfungsian, sakit bahkan mati. Setiap bagian fisik tubuh kita terlibat untuk menjaga keseimbangan tersebut mulai dari satu atom tunggal hingga sistem organ terbesar. Sistem-sistem organ dikemas dalam sebuah hubungan saling ketergantungan dan mempengaruhi. Berbagai mekanisme fisiologis bertindak untuk menjaga hubungan-hubungan tersebut dan mencapai keadaan lingkungan internal yang stabil atau homeostasis.

Oleh karena itu kerusakan satu sistem akan mempengaruhi sistem lain. Contohnya penderita skizoprenia akan mengalami peningkatan autoantibodi dan penurunan respon imun pada antigen. Pada model hewan yang telah dihilangkan kelenjar pituitarinya terjadi penurunan sel imun yang bersirkulasi dalam pembuluh darah dan terjadi pula penurunan reaktivitas imun. Respon imun ternyata dapat ditingkatkan kembali dengan menambahkan hormon pertumbuhan atau prolaktin (Cearlock, 1997).

Salah satu tekanan yang dapat mengganggu homeostasis tubuh adalah stress. Faktor penyebab stress bisa dibagi ke dalam empat kelompok, yakni fisik, emosi, lingkungan dan metabolik (Martini, 1998). Suatu keadaan stress akan memicu perubahan fisiologis agar keadaan homeostasis tersebut kembali tercapai. Menurut Hans Selye, respon terhadap stress atau yang disebut General Adaptation Syndrome (GAS) terbagi menjadi tiga fase yaitu fase alarm, fase resistensi, dan fase kelelahan (Martini, 1999).

Fase alarm merupakan keadaan stress jangka pendek. Ditandai dengan kenaikan kadar hormon epinefrin dan norepinefrin. Hormon-hormon tersebut akan mengaktivasi saraf simpatis untuk meningkatkan denyut jantung dan laju respirasi, serta meningkatkan kewaspadaan mental sehingga tubuh berada dalam keadaan ‘melawan atau lari’ pada situasi darurat (Martini, 1999; Ridley, 1999). 

Jika pemicu stress berlangsung dalam jangka waktu cukup panjang, dalam hal ini lebih dari beberapa jam, maka tubuh memasuki fase resistensi. Fase ini ditandai dengan terjadinya kenaikan kadar kortisol dalam aliran darah secara lambat tetapi terus menerus (Martini, 1999). Kortisol adalah hormon steroid yang dibuat dengan mengguankan gen CYP17 pada kromosom 10. Gen ini akan menghasilkan enzim yang mengubah kolesterol menjadi kortisol, testosteron dan estradiol (Ridley, 2005). Kortisol tetap meningkat untuk periode yang lebih panjang setelah stress sehingga memiliki efek jangka panjang pada kesehatan kita (McEwen, 1998 dalam Epel, 1998).

Selama stress, hormon seperti epinefrin, norepinefrin dan kortisol akan meningkatkan proses katabolis yang menghambat pencernaan dan memecahkan senyawa metabolik ke energi mobilisasi yang cepat. Sistem saraf parasimpatis kemudian memicu pelepasan lebih banyak hormon anabolik seperti growth hormon (GH), insulin-like growth hormone (IGF-1), insulin dan steroid gonad untuk mengatasi peningkatan aktivitas anabolisme dan meningkatkan relaksasi, pencernaan dan penyimpanan energi dan proses penyembuhan seperti mempromosikan sistensis protein (Martini, 1998) contohnya GH mempercepat penyembuhan luka (Mayer, Muller, & Herndon, 1996 dalam Epel, 1998) sementara kortisol meningkatkan pemecahan protein, menghambat pertumbuhan fibroblast dan memperlambat penyembuhan (Saito, et al, 1997 dalam Epel, 1998). Keseimbangan antara hormon anabolik dan katabolik berpengaruh pada apakah tubuh terutama dalam keadaan mode destruktif atau restoratif.

Hormon katabolik penting untuk kesehatan pada jangka pendek, tetapi di bawah kondisi stress dan dalam keadaan peningkatan hormon yang konstans, hormon katabolik dapat menyebabkan kerusakan yang disebut muatan alostatik atau kerusakan fisik karena stress (McEwen & Stellar , 1993 dalam Epel 1998). Kerusakan ini menyebabkan tubuh kurang mampu merespon secara fleksibel pada perubahan lingkungan. Penuaan dapat menyebabkan pergeseran keadaan istirahat hormon pada mode destruktif.

Bersambung ...