Sabtu, 03 Januari 2015

Stress, Tinjauan Fisiologis dan Psikologis 2


Stress yang terus berlangsung akan memicu tubuh memasuki fase ketiga yaitu fase kelelahan. Pada fase ini tubuh akan mengalami kegagalan sistem vital karena tubuh tidak mampu mempertahankan aktivitas endokrin dan metabolisme pada fase resistensi (Martini, 1998).

Respon individu pada stress terutama terjadi melalui aktivitas sistem saraf pusat dan sistem endokrin. Tetapi karena sistem tersebut berkaitan dengan sistem imun, efek samping yang penting dari stress adalah disregulasi respon imun sehingga indivisu akan lebih mudah dipengaruhi oleh infeksi, dan penyakit autoimun (Cearlock, 1997). Kortisol memiliki efek imunosupresif yang menekan aktivitas limfosit dan menghambat ekspresi protein lain yaitu interleukin 2. Interleukin 2 adalah komplemen untuk menyiagakan sel darah putih terhadap kuman-kuman penyakit. Penekanan terhadap aktivitas interleukin membuat orang yang terkena stress cenderung mudah terkena flu dan penyakit lainnya (Ridley, 2005). Pada penderita HIV ditunjukkan bahwa stress berat yang dikombinasikan dengan aktivitas glukokortikoid yang tinggi dapat merendahkan populasi limfosit yang bersirkulasi dan kemudian mengurangi pertahanan terhadap infeksi (Petitto, 2000).  

Regulasi dan fungsi sistem endokrin, sistem saraf pusat dan sistem imun berlangsung dalam banyak arah dan kompleks. Interaksi antara sistem-sistem tersebut diantaranya dapat dilihat dari ditemukannya ujung saraf pada timus dan sumsum tulang belakang tempat berkembangnya sel T dan sel B. Interleukin 2 yang esensial untuk aktivasi sel T pada respon imun terhadap antigen secara positif dan negatif mempengaruhi diferensiasi dan viabilitas sel neuronal dan sel glial serta mempengaruhi pelepasan hormon peptide dari hipotalamus dan kelenjar pituitary (Cearlock, 1997).

Komponen esensial pada respon sistem saraf pusat, sistem hormon dan sistem imun adalah regulasi sitem imun melalui inhibisi umpan balik.  Regulasi positif akan menstimulus respon sementara regulasi negatif akan menurunkan respon (Cearlock, 1997). Penelitian terhadap penderita HIV menunjukkan bahwa penderita yang memiliki kadar kortisol basal yang tinggi memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap efek stress sehingga memicu perubahan terhadap beberapa parameter status imun dibandingkan penderita yang memiliki kortisol basal yang rendah. Sensitivitas yang tinggi ditandai dengan menurunnya jumlah sel limfosit T dan sel Natural Killer (NK) yang bersirkulasi (Pitetto, 2000). Jika level kortisol basal rendah maka pengaruh imunosupresif akan berkurang.

Efek umum dari kondisi stress bisa dikatakan merupakan hasil dari degradasi integritas sistem kendali tubuh. Tetapi ketika tantangan agen pembawa stress bertemu dengan respon yang cukup untuk mengatasinya, sistem imun tidak akan terpengaruh atau bahkan bisa distimulasi menjadi lebih kuat dari biasanya (Imunologi, 1989). 

Upaya untuk mempertahankan homeostasis tubuh tidak hanya melibatkan mekanisme fisik saja tapi juga faktor psikologis. Bahwa dualisme pikiran dan tubuh yang mendominasi pola pikir barat dan membuatnya resisten pada gagasan bahwa pikiran dapat mempengaruhi tubuh adalah salah. Biokimia bukanlah penyebab perilaku, gen bukanlah penentu nasib yang tidak dapat diubah walaupun susunan gen tertentu bisa menyebabkan seseorang berpotensi mengidap penyakit mematikan atau memiliki kecenderungan untuk bersikap agresif dan mengekspresikan kecerdasan matematika atau musik. Juga bahwa pengaruh lingkungan yang sangat besar meniadakan pengaruh faktor bawaan. Keduanya berperan seimbang. Begitu pula suatu mekanisme untuk mengatasi dampak negatif stress terhadap sistem pertahanan tubuh tidak hanya mengandalkan proses biokimia saja. 

Keadaan stress bisa memiliki dua bentuk. Gejalanya fisik namun disebabkan oleh kondisi psikologis maupun sebaliknya. Keterkaitan antara fisik dan psikologis dalam stress yang melibatkan sistem saraf pusat, sistem  endokrin dan sistem imun beserta faktor psikologis dikenal sebagai psikoneuroimunoendokrinologi. Contohnya, kita bisa meningkatkan kadar kortisol dengan membayangkan hal-hal yang menakutkan atau melakukan sesuatu yang menegangkan sebagaimana kita juga bisa mengaktivasi ‘pusat kebahagiaan’ dengan tersenyum.

Penelitian psikoneuroimunologi mempostulatkan bahwa fisiologi imun bisa diubah oleh perubahan yang menginduksi stress dalam aktivitas jalur neural dan neuroendokrin yang diatur dalam otak (Petitto, 2000) sedangkan dalam penelitian psikoneuroendokrin, upaya merespon stress dilihat dari bagaimana faktor psikologis mempengaruhi kesehatan melalui respon sistem neuroendokrin. Diantaranya dengan adanya penilaian kognitif dan persepsi kontrol yang dapat mentransformasikan efek stress dari potensi merusak ke meningkatkan kesehatan melalui proses yang disebut toughening-up. Dengan kata lain, selain memperlemah kondisi fisik tubuh, stress juga bisa meningkatkan daya tahan fisiologis terhadap stress yang sama dengan adanya perilaku positif (Epel, 1998). 

Fase resistensi GAS Heyle diidentifikasi sebagai waktu untuk “peremajaan mekanisme homeostasis” yang diakibatkan oleh stress (Epel, 1998). Pada fase ini tubuh beradaptasi terhadap stress melalui suatu proses pembelajaran (Riga & Riga, 1996 dalam Epel, 1998) yang melibatkan faktor fisik dan psikologis.

Tiga kondisi yang dapat mereduksi dampak negatif respon stress bahkan menguatkan ketahanan tubuh dan meningkatkan kesehatan adalah pendedahan terhadap stress akut, pemantapan melalui pendedahan berulang pada stressor dan kesemaptan untuk melakukan relaksasi (Epel, 1998).

Stress akut dapat meningkatkan imunitas secara temporal dan mencegah toksisitas dan kerusakan tubuh yang diakibatkan oleh hormon stress (Munck, et al., 1984 dalam Epel, 1998) sehingga tubuh mampu mengaktifkan proses anabolik yang baik untuk mengimbangi proses katabolik yang disebabkan oles stress. Pendedahan berulang pada stressor akut menjadikan tubuh menyiapkan keadaan psikologis dan fungsi fisiologis untuk memberikan respon dengan baik pada stresor yang akan dating serupa dengan mekanisme yang bekerja dalam imunisasi. Dengan demikian tubuh akan memiliki kemampuan pemulihan yang cepat, daya tahan tubuh yang meningkat, berkurangnya sikap penakut, dan pertumbuhan fisiki yang cepat (Levin et al., 1967; Gray, 1971; Solomon & Amkraut, 1981 dalam Elep, 1998). 

Proses pemantapan juga menyangkut adaptasi yang cepat terhadap stressor. Walaupun kita familiar dengan stressor tersebut tetapi jika adaptasi yang kita kembangkan lambat maka stres akut bisa berkembang menjadi stres kronis. Axis Hypothalamic Pituitary Adrenal (HPA) adalah sistem neuroendokrin yang mendasari sistem stress dan komponen penting dalam jalur yang terkait stress dan sakit. Sedangkan perubahan pada level kortisol adrenal menyatakan index stress (Rosal, 2004). Tantangan yang konsisten akan menuju pembiasaan level kortisol yang lebih rendah karena penyebab stress harian cukup familiar sehingga tubuh bisa mengembangkan kemampuan untuk mengahadapinya dan mentoleransi sumber stress tersebut. Pembiasaan terhadap kemampuan merespon stress dengan baik akan mencegah munculnya stress kronis dan pendedahan berlebihan terhadap kortisol. Pendedahan ulang pada stress menyebabkan penurunan dalam pelepasan kortisol (Rosal, 2004) sehingga saat tubuh menghadapi stress sistem imun tidak akan terpengaruh (Imunologi, 1989).

Bersambung ...