Stress yang terus berlangsung akan memicu tubuh memasuki fase ketiga
yaitu fase kelelahan. Pada fase ini tubuh akan mengalami kegagalan
sistem vital karena tubuh tidak mampu mempertahankan aktivitas endokrin
dan metabolisme pada fase resistensi (Martini, 1998).
Respon
individu pada stress terutama terjadi melalui aktivitas sistem saraf
pusat dan sistem endokrin. Tetapi karena sistem tersebut berkaitan
dengan sistem imun, efek samping yang penting dari stress adalah
disregulasi respon imun sehingga indivisu akan lebih mudah dipengaruhi
oleh infeksi, dan penyakit autoimun (Cearlock, 1997). Kortisol memiliki
efek imunosupresif yang menekan aktivitas limfosit dan menghambat
ekspresi protein lain yaitu interleukin 2. Interleukin 2 adalah
komplemen untuk menyiagakan sel darah putih terhadap kuman-kuman
penyakit. Penekanan terhadap aktivitas interleukin membuat orang yang
terkena stress cenderung mudah terkena flu dan penyakit lainnya (Ridley,
2005). Pada penderita HIV ditunjukkan bahwa stress berat yang
dikombinasikan dengan aktivitas glukokortikoid yang tinggi dapat
merendahkan populasi limfosit yang bersirkulasi dan kemudian mengurangi
pertahanan terhadap infeksi (Petitto, 2000).
Regulasi dan fungsi
sistem endokrin, sistem saraf pusat dan sistem imun berlangsung dalam
banyak arah dan kompleks. Interaksi antara sistem-sistem tersebut
diantaranya dapat dilihat dari ditemukannya ujung saraf pada timus dan
sumsum tulang belakang tempat berkembangnya sel T dan sel B. Interleukin
2 yang esensial untuk aktivasi sel T pada respon imun terhadap antigen
secara positif dan negatif mempengaruhi diferensiasi dan viabilitas sel
neuronal dan sel glial serta mempengaruhi pelepasan hormon peptide dari
hipotalamus dan kelenjar pituitary (Cearlock, 1997).
Komponen
esensial pada respon sistem saraf pusat, sistem hormon dan sistem imun
adalah regulasi sitem imun melalui inhibisi umpan balik. Regulasi
positif akan menstimulus respon sementara regulasi negatif akan
menurunkan respon (Cearlock, 1997). Penelitian terhadap penderita HIV
menunjukkan bahwa penderita yang memiliki kadar kortisol basal yang
tinggi memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap efek stress sehingga
memicu perubahan terhadap beberapa parameter status imun dibandingkan
penderita yang memiliki kortisol basal yang rendah. Sensitivitas yang
tinggi ditandai dengan menurunnya jumlah sel limfosit T dan sel Natural
Killer (NK) yang bersirkulasi (Pitetto, 2000). Jika level kortisol basal
rendah maka pengaruh imunosupresif akan berkurang.
Efek umum dari
kondisi stress bisa dikatakan merupakan hasil dari degradasi integritas
sistem kendali tubuh. Tetapi ketika tantangan agen pembawa stress
bertemu dengan respon yang cukup untuk mengatasinya, sistem imun tidak
akan terpengaruh atau bahkan bisa distimulasi menjadi lebih kuat dari
biasanya (Imunologi, 1989).
Upaya untuk mempertahankan
homeostasis tubuh tidak hanya melibatkan mekanisme fisik saja tapi juga
faktor psikologis. Bahwa dualisme pikiran dan tubuh yang mendominasi
pola pikir barat dan membuatnya resisten pada gagasan bahwa pikiran
dapat mempengaruhi tubuh adalah salah. Biokimia bukanlah penyebab
perilaku, gen bukanlah penentu nasib yang tidak dapat diubah walaupun
susunan gen tertentu bisa menyebabkan seseorang berpotensi mengidap
penyakit mematikan atau memiliki kecenderungan untuk bersikap agresif
dan mengekspresikan kecerdasan matematika atau musik. Juga bahwa
pengaruh lingkungan yang sangat besar meniadakan pengaruh faktor bawaan.
Keduanya berperan seimbang. Begitu pula suatu mekanisme untuk mengatasi
dampak negatif stress terhadap sistem pertahanan tubuh tidak hanya
mengandalkan proses biokimia saja.
Keadaan stress bisa memiliki
dua bentuk. Gejalanya fisik namun disebabkan oleh kondisi psikologis
maupun sebaliknya. Keterkaitan antara fisik dan psikologis dalam stress
yang melibatkan sistem saraf pusat, sistem endokrin dan sistem imun
beserta faktor psikologis dikenal sebagai psikoneuroimunoendokrinologi.
Contohnya, kita bisa meningkatkan kadar kortisol dengan membayangkan
hal-hal yang menakutkan atau melakukan sesuatu yang menegangkan
sebagaimana kita juga bisa mengaktivasi ‘pusat kebahagiaan’ dengan
tersenyum.
Penelitian psikoneuroimunologi mempostulatkan bahwa
fisiologi imun bisa diubah oleh perubahan yang menginduksi stress dalam
aktivitas jalur neural dan neuroendokrin yang diatur dalam otak
(Petitto, 2000) sedangkan dalam penelitian psikoneuroendokrin, upaya
merespon stress dilihat dari bagaimana faktor psikologis mempengaruhi
kesehatan melalui respon sistem neuroendokrin. Diantaranya dengan adanya
penilaian kognitif dan persepsi kontrol yang dapat mentransformasikan
efek stress dari potensi merusak ke meningkatkan kesehatan melalui
proses yang disebut toughening-up. Dengan kata lain, selain memperlemah
kondisi fisik tubuh, stress juga bisa meningkatkan daya tahan fisiologis
terhadap stress yang sama dengan adanya perilaku positif (Epel, 1998).
Fase
resistensi GAS Heyle diidentifikasi sebagai waktu untuk “peremajaan
mekanisme homeostasis” yang diakibatkan oleh stress (Epel, 1998). Pada
fase ini tubuh beradaptasi terhadap stress melalui suatu proses
pembelajaran (Riga & Riga, 1996 dalam Epel, 1998) yang melibatkan
faktor fisik dan psikologis.
Tiga kondisi yang dapat mereduksi
dampak negatif respon stress bahkan menguatkan ketahanan tubuh dan
meningkatkan kesehatan adalah pendedahan terhadap stress akut,
pemantapan melalui pendedahan berulang pada stressor dan kesemaptan
untuk melakukan relaksasi (Epel, 1998).
Stress akut dapat
meningkatkan imunitas secara temporal dan mencegah toksisitas dan
kerusakan tubuh yang diakibatkan oleh hormon stress (Munck, et al., 1984
dalam Epel, 1998) sehingga tubuh mampu mengaktifkan proses anabolik
yang baik untuk mengimbangi proses katabolik yang disebabkan oles
stress. Pendedahan berulang pada stressor akut menjadikan tubuh
menyiapkan keadaan psikologis dan fungsi fisiologis untuk memberikan
respon dengan baik pada stresor yang akan dating serupa dengan mekanisme
yang bekerja dalam imunisasi. Dengan demikian tubuh akan memiliki
kemampuan pemulihan yang cepat, daya tahan tubuh yang meningkat,
berkurangnya sikap penakut, dan pertumbuhan fisiki yang cepat (Levin et
al., 1967; Gray, 1971; Solomon & Amkraut, 1981 dalam Elep, 1998).
Proses
pemantapan juga menyangkut adaptasi yang cepat terhadap stressor.
Walaupun kita familiar dengan stressor tersebut tetapi jika adaptasi
yang kita kembangkan lambat maka stres akut bisa berkembang menjadi
stres kronis. Axis Hypothalamic Pituitary Adrenal (HPA) adalah sistem
neuroendokrin yang mendasari sistem stress dan komponen penting dalam
jalur yang terkait stress dan sakit. Sedangkan perubahan pada level
kortisol adrenal menyatakan index stress (Rosal, 2004). Tantangan yang
konsisten akan menuju pembiasaan level kortisol yang lebih rendah karena
penyebab stress harian cukup familiar sehingga tubuh bisa mengembangkan
kemampuan untuk mengahadapinya dan mentoleransi sumber stress tersebut.
Pembiasaan terhadap kemampuan merespon stress dengan baik akan mencegah
munculnya stress kronis dan pendedahan berlebihan terhadap kortisol.
Pendedahan ulang pada stress menyebabkan penurunan dalam pelepasan
kortisol (Rosal, 2004) sehingga saat tubuh menghadapi stress sistem imun
tidak akan terpengaruh (Imunologi, 1989).